Sebenarnya dalam melaksanakan
proses pembelajaran yang menggunakan kerangka multiple intelligences
tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah kreativitas dan
kepekaan guru. Artinya, setiap guru harus bisa berpikir secara terbuka yaitu
keluar dari paradigma pengajaran tradisional, mau menerima perubahan, dan harus
memiliki kepekaan untuk melihat setiap hal yang bisa digunakan di lingkungan
sekitar dalam menunjang proses pembelajaran.
Laboratorium hidup yang
terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan proses pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan multiple intelligences, sarana dan
prasarana yang dibutuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar.
Artinya, bahwa pendidikan tidak harus diselenggarakan di dalam kelas dan tidak
harus menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk
mengamati setiap fenomena yang terjadi dalam realitas kehidupan yang
sebenarnya. Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan
dengan kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam
kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan
yang mendalam.
Berikut akan dipaparkan contoh
“kasus nyata” keunikan siswa dalam proses belajar, yang cerita ini saya kutip
dari buku yang ditulis oleh Chatib (2009:14-15) dalam buku “Sekolahnya
Manusia”. Kasus berikut merupakan contoh seorang anak yang belajar matematika
dengan pendekatan kecerdasan spasial yang dimilikinya.
Latif adalah siswa kelas 2.
Latif bermasalah dalam belajar. Masalah yang dia alami sangat kompleks karena
kombinasi berbagai masalah. Pertama, dia tidak pernah masuk kelas. Oleh karena
itu, banyak sekali materi yang tidak pernah ia ikuti. Kedua, Latif tidak pernah
membawa buku dan alat tulis. Latif sama sekali tidak termotivasi untuk belajar,
akibatnya dia tidak bisa mengenal angka dan penjumlahan.
Ternyata, keluarga menjadi
latar belakang terbesar masalah Latif. Sang ibu telah lama bekerja di luar
negeri, sementara ayahnya memiliki pekerjaan tidak tetap dan sering ke luar
kota. Kondisi ini membuat sang ayah sama sekali tidak memberikan perhatian
kepada anaknya, khususnya soal pendidikan. Latif tinggal bersama neneknya yang
sama sekali tak peduli urusan sekolah sang cucu. Dapat disimpulkan, masalah
Latif bersumber pada kurang perhatian dan kurang kasih sayang orangtuanya.
Namun, di balik masalah
tersebut, tersimpan potensi yang luar biasa. Latif sangat suka menggambar dan
mewarnai (kecerdasan spasial-visual). Guru matematika di kelas Latif punya ide
untuk mengajarkan penjumlahan lewat pintu kecerdasan Latif. Guru tersebut
memberikan kesempatan kepada Latif untuk belajar penjumlahan dengan cara
melukis angka-angka penjumlahan pada kertas folio yang disambung berjejer di
dinding kelas. Betapa antusiasnya Latif “menggambar” di dinding tersebut.
Inilah sebuah proses gaya mengajar yang berhasil masuk dalam dunia siswa.
Sekarang, Latif termotivasi
untuk sekolah dan sangat enjoy dengan
pelajaran matematika. Hasilnya dia mampu menguasai materi penjumlahan yang
dahulu dibencinya.
Belajar dari cerita “kasus”
Latif di atas, dalam praktik pembelajaran matematika, setiap siswa harus
didekati melalui kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya. Akibatnya, jika
teori multiple intelligences ini benar-benar diterapkan dalam strategi
pembelajaran, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru merupakan
pendekatan secara individual. Hal ini, tentunya akan membawa konsekuensi bahwa
seorang guru harus “sabar” untuk bisa membuat bagaimana siswa dapat menemukan
kegairahannya dalam belajar, dan pembelajaran tidak hanya ditargetkan untuk
“menghabiskan” materi dalam kurikulum.
Terkait dengan pembelajaran
individual ini, dalam buku yang berjudul “Teori Inteligensi Ganda dan
Aplikasinya di Sekolah,” Suparno (2004:63) menyatakan bahwa setiap anak dapat
lebih dibantu belajar bila diajar sesuai dengan intelegensi mereka yang
menonjol, dengan cepat menjadi pendorong bagi mereka yang mau membuat sekolah
individual. Kursus privat yang membantu siswa berdasarkan kekuatan dan
kelemahan pribadi, yang berbeda dengan teman lain, sangat didukung oleh teori
ini. Dengan model pendekatan pribadi ini, jelas seorang siswa akan lebih cepat
maju dan guru lebih mudah menyesuaikan cara mengajarnya sesuai dengan
intelegensi siswa.
Memang yang ideal di kelas
besar pun, pendekatannya lebih pribadi dengan memperhatikan kekhasan, kekuatan,
dan kelemahan siswa. Namun, karena siswanya terlalu banyak, tampaknya tidak
mungkin seorang guru selalu memperhatikan setiap siswa dan mengajar dengan cara
berbeda. Itulah sebabnya ada pengkritik yang mengungkapkan teori Gardner ini
terlalu idealistik, terlalu utopi, karena dalam praktik sekolah biasa sulit
digunakan. Menurut mereka, teori ini hanya dapat dipraktikkan dalam sekolah
individual.
Armstrong (2000:85) memberikan
contoh penerapan pembelajaran matematika berbasis multiple intelligences.
Dalam bukunya, Amstrong menjelaskan bahwa banyak siswa yang merasa sulit untuk
memahami konsep perkalian. Model pembelajaran untuk materi perkalian ini,
kebanyakan guru menyuruh siswa untuk menghafal tabel perkalian yang sudah
disiapkan dan melakukan tes berulang kali, sampai siswa benar-benar dapat
menghafalkan tabel perkalian. Dengan pembelajaran model ini, maka bagi siswa
yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi biasanya dapat dengan mudah untuk
menghafalnya, siswa yang kecerdasan matematiknya tinggi akan mudah memahami
konsep perkalian, namun sulit untuk mengingat fakta-fakta perkalian. Sedangkan,
bagi siswa yang lemah di bidang kecerdasan linguistik dan matematik, tetapi
memiliki kecenderungan yang tinggi dalam kecerdasan yang lain, biasanya akan
benar-benar hal ini menjadi masalah. Hal ini dapat dimaklumi, sebagian besar
dalam faktanya pembelajaran di sekolah lebih banyak menghargai siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan linguistik dan matematik.
Oleh sebab itu, dalam
pembelajaran matematika, khususnya perkalian, guru dapat menerapkan strategi
pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan multiple
intelligences. Dengan menyelenggarakan pembelajaran berbasis multiple
intelligences ini diharapkan setiap siswa akan merasa semangat dan terus
termotivasi untuk belajar, sehingga suasana “haus belajar” benar-benar tertanam dalam setiap individu
siswa.
0 komentar:
Posting Komentar