Oleh Abdul Halim Fathani
Pada
tanggal 18 Juli 2010 yang lalu, saya ditelepon teman saya. Sebut saja
si Fulan. Ia merupakan teman saya sewaktu kuliah di Jurusan Matematika
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, angkatan 2002. Dulu, sewaktu kuliah,
si Fulan memiliki prestasi yang lumayan baik. Selain rajin kuliah, ia
juga aktif mengikuti pelbagai kegiatan kemahasiswaan, bahkan pernah
menjadi pengurus di Ma’had Sunan Ampel Al-Ali. Kurang lebih 4 tahun saya
tidak bertemu lagi dengannya. Pertemuan terakhir adalah pada saat
tasyakuran acara wisuda –bulan April 2007. Dalam penuturannya, ia
menelepon saya untuk “berkonsultasi”. Secara singkat isi “konsultasi”
adalah sebagai berikut.
Saat
ini, si Fulan tersebut sedang bekerja di dua instansi yang berbeda. Di
kantor dinas pendidikan sebagai staf administrasi dan di salah satu
sekolah swasta sebagai guru matematika. Di dinas pendidikan, ia telah
mendapat SK sebagai tenaga honorer dari Bupati, sementara di sekolah
swasta, SK yang didapat hanya ditandatangani oleh pihak Yayasan. Namun,
yang ia “konsultasikan” kepada saya bukan masalah SK tersebut, melainkan
keinginannya untuk studi lanjut S2.
Ia
bertanya saya, apakah ada kuliah S2 program studi pendidikan matematika
yang kuliahnya Sabtu-Minggu? Saya jawab, setahu saya tidak (baca:
belum) ada. Biasanya, yang menggelar perkuliahan Sabtu-Minggu itu
kebanyakan jurusan-jurusan sosial. Rupanya, teman saya tadi, ingin
melanjutkan kuliahnya pada Program Pascasarjana S2 pada program studi
Pendidikan Matematika, namun agar tidak mengganggu pekerjaannya saat ini
ia lebih memilih kuliah “hanya” pada hari Sabtu-Minggu.
Ternyata,
sebelumnya, ia sudah pernah survei untuk mencari kampus yang menggelar
perkuliahan pada hari Sabtu-Minggu untuk program studi S2 Pendidikan
matematika. Dan, ternyata ia tidak berhasil mendapatkannya. Akhirnya, ia
menemukan kampus negeri di Surabaya yang menggelar perkuliahan
Sabtu-Minggu, tepatnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya,
jurusan Ekonomi Islam. Walhasil, teman saya tadi memutuskan untuk
membeli formulir pendaftaran mahasiswa baru di kampus tersebut.
Atas
keputusan inilah, ia bertanya saya, bagaimana pendapat saya tentang
keputusan yang ia ambil. Awalnya, saya menyayangkan keputusan yang
diambilnya. Mengapa? Karena, latar pendidikan S1 nya di UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang adalah Jurusan Matematika, maka sangat disayangkan
jika ia melanjutkan studi, tetapi jurusannya tidak linier. Dengan kata
lain, tidak dapat digunakan untuk menunjang keprofesionalan di bidang
keilmuan.
Kemudian,
saya tanya, apa alasan Anda untuk memutuskan hal ini? Anehnya, ia
sebenarnya sudah memiliki beragam alasan “positif” terkait keputusan
yang diambil. Pertama, saat ini ia masih bekerja, sehingga keinginan
untuk studi lanjut S2 diharapkan tidak mengganggu kerjanya. Kedua, ia
berkeyakinan bahwa ilmu Ekonomi Islam yang akan dicari lewat perkuliahan
S2 nanti, tidak akan sia-sia. Artinya, ilmu yang diperoleh tetap akan
bermanfaat. Ketiga, (mungkin ini alasan pembenar saja), ia menjelaskan
bahwa di Matematika itu ada keterkaitannya dengan Ekonomi. Sehingga
diharapkan setelah lulus S2 nanti, ia akan lebih menguasai bidang
MATEMATIKA EKONOMI. Ilmu Matematika telah diperoleh di bangku S1,
sedangkan Ekonomi diperoleh lewat studi S2.
Ketiga
alasan di atas, saya apresiasi sangat bagus. Ternyata, untuk mengambil
keputusan cerdas sebenarnya sudah dapat diatasi oleh teman saya sendiri,
hanya saja mungkin ia kurang percaya diri. Terkait alasan yang ketiga,
saya tambahi. Setelah Anda lulus S2, Anda bukan menjadi ahli MATEMATIKA
EKONOMI, tetapi Anda adalah seorang yang ahli di bidang MATEMATIKA
EKONOMI ISLAM.
Berdasarkan cerita singkat di atas, maka ada beberapa hal yang patut kita renungkan bersama:
1. Akhir-akhir,
aturan formal pemerintah menuntut seseorang untuk mengambil studi pada
program studi yang linier -baik ketika studi di S1, S2, hingga S3-
program studi yang ditempuh harus sama semua, misalnya ketika S1 studi
di jurusan Matematiika, maka S2 dan S3 juga harus sama. Faktanya,
(seperti kasus di atas), si Fulan yang telah lulus dari S1 jurusan
Matematika, kemudian –dalam perkembangannya- ia menyukai bidang Ekonomi
Islam. Maka, yang menjadi persoalan adalah, mana yang akan dipilih,
tetap studi S2 di jurusan Matematika yang tidak lagi disenangi atau
justru mengambil studi S2 di jurusan Ekonomi Islam, sehingga kelak ia
akan “lebih” menguasai bidang terapan matematika, khususnya Matematika
Ekonomi Islam. Dengan demikian, maka yang harus dipilih adalah, ia harus
mengambil S2 Matematika dengan tujuan agar linier dan ijazahnya
tertulis Magister Matematika, tetapi dalam kenyatannya ia tida begitu
“mahir matematika”. Ataukah, ia mengambil S2 Ekonomi Islam dan nantinya
dapat mempertanggungjawabkan kemampuan riil dan keahlian formal yang
dibuktikan dengan Ijazah, yaitu menjadi ahli Matematika Ekonomi Islam?
Yang harus dipilih adalah, antara Kemampuan yang melekat pada Formalitas
atau dalam Realitasnya.
2. Kalau
dilihat dari perspektif keilmuan, maka pemisahan bidang ilmu itu tidak
saklek. Artinya, tidak ada yang melarang ilmu matematika itu untuk
“berinteraksi” dengan ilmu yang lain, semisal Ekonomi. Justru, kalau ada
“kebebasan akademik” dalam hal pencarian ilmu, maka dimungkinkan
“warna-warni” perkembangan ilmu akan semakin kelihatan. Tetapi, jika
pencarian ilmu itu dibatasi aturan formal, semuanya harus liniear, maka
perkembangan ilmu akan mengalami hambatan? Dan, saat ini sudah bisa kita
saksikan, banyak lahir ilmu-ilmu eksak yang berinteraksi dengan
ilmu-ilmu sosial, seperti Psikometri, Sosiomatematika, Bioetika, dan
sebagainya.
3. Aturan
formal pemerintah yang menyarakan setiap orang untuk studi S1, S2, S3
itu harus linier, bukan berarti tidak baik. Kelinieran program studi
yang diambil dapat berimplikasi postif demi pengembangan keilmuan itu
sendiri, misalnya orang yang studi linier di bidang bahasa inggris, maka
akan berdampak pada perkembangan keilmuan bahasa Inggris.
Tetapi, bagi yang studi non-linier akan berdampak pada pengembangan
ilmu lintas disiplin.
4. Selain
kasus di atas, saya juga punya teman yang waktu studi S1 ia mengambil
jurusan matematika, tetapi ketika melanjutkan S2, teman saya tadi
mengambil jurusan Manajemen Kebijakan Pendidikan. Sekilas, teman saya
tadi aneh, jurusan yang diambil sangat bertolak-belakang. Tetapi, kalau
kita renungkan lebih jauh, sungguh tidak asa yang aneh. Hemat saya,
(mungkin) teman saya tadi mempunyai keyakinan –misalnya menjadi kepala
sekolah atau pemegang kebijakan yang di atasnya- untuk memperbaiki
kebijakan pemerintah terkait aspek-aspek pendidikan, khususnya dalam
bidang matematika. Didukung dengan kemampuan matematika yang diperoleh
waktu S1 dan kemampuan bidang kebijakan pendidikan yang diperoleh
sewaktu S2, maka sangat dimungkinkan teman saya tadi untuk mengambil
kebijakan yang pas terkait pelaksanaan pembelajaran matematika di
sekolahnya. Misalnya, Apakah semua siswa “wajib” mengikuti KBM
matematika ataukah hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki
kecenderungan kecerdasan matematika saja? Pemberlakuan matrikulasi
matematika, pelaksanaan bimbingan belajar matematika menjelang ujian
nasional, dan sebagainya? Karena teman saya tadi mengetahui
“seluk-beluk” matematika, maka sangat dimungkinkan kebijakan yang
diambil merupakan kebijakan yang benar-benar bijak.
Demikian,
beberapa catatan kecil yang merupakan refleksi dari beberapa kejadian
nyata yang terjadi pada teman saya, dan juga mungkin terjadi pada
beberapa teman yang lain- termasuk pada diri saya sendiri. Semoga, semua
ilmu yang kita peroleh melalui bangku pendidikan formal maupun
nonformal, semuanya tetap bermuara untuk mencapai keridhaan Allah swt
dan merupakan ilmu yang bermanfaat fiddunya wal-akhirat, dan semoga kita
semua dapat mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari. Amin. [ahf]
0 komentar:
Posting Komentar