Abdul Halim Fathani
MASIH saja ada pihak yang
berargumen bahwa pembelajaran matematika di sekolah Indonesia,
sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma
mengajarnya. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau
belum tahu apa-apa, siswa dianggap seperti gelas kosong yang harus diisi air
sampai tumpah, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai
pengetahuan, sebagai satu-satunya sumber ilmu. Guru memberi ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi
adalah terletak pada guru.
Penekanan
yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi
pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi, dan semua itu terbukti
tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari.
Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika sangat lemah
dan tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah.
Hampir
setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian
besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif
menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa. Menurut Marpaung (1998),
paradigma mengajar seperti di atas tidak dapat lagi dipertahankan dalam
pembelajaran matematika di sekolah pada era “pasar bebas” dan serba digital ini. Sudah saatnya paradigma mengajar dikonversi dengan paradigma belajar. Paradigma belajar
ini sejalan dengan teori konstruktivisme.
Perubahan
ini dirasakan sangat perlu terjadi karena paradigma mengajar matematika yang dicirikan:
informasi/teorema/definisi-contoh soal-soal tidak dapat mencapai tujuan
mengajar untuk meningkatkan belajar. Mengajar seringkali mendapatkan posisi
belajar tanpa produk. Padahal yang dibutuhkan adalah mengajar itu dapat
mengoptimalkan peningkatan belajar sebagai suatu hasil aplikasi yang lebih
besar dari apa yang tidak diketahui tentang proses belajar. (Hudojo, 2005:123).
Dalam
paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu
yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan
dikonstruksi oleh siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya
menerima secara pasif. Dengan demikian, siswa sendiri-lah yang harus aktif. Paradigma belajar ini
juga se-ide dengan teori Realistic Mathematics
Education (RME) yang dikembangkan oleh Freudential, bahwa
pengetahuan matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah
jadi.
Oleh
karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi dan mengkreasi
kembali pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif
mentransfer pengetahuan, tetapi bagaimana menciptakan kondisi belajar dan
merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif,
serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang
optimal.
Keberhasilan
dalam belajar matematika bergantung kepada proses belajar matematika. Dalam
proses belajar matematika ini terjadi peristiwa belajar yang tidak hanya mengandalkan aspek
kognitif saja, melainkan juga hubungan emosional dan sosial antara guru
dengan siswa. Ini berarti kuat tidaknya interaksi sosial dan emosional guru
dengan siswa akan menentukan keberhasilan belajar. Tidak dapat dijamin bahwa
interaksi guru dan siswa yang tinggi akan menghasilkan keberhasilan belajar
yang baik. Demikian pula tidak dapat begitu saja mengatakan interaksi guru dan
siswa yang rendah akan menghasilkan prestasi yang jelek. (Hudojo, 2005:17).
Banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar. Di
antaranya dipengaruhi oleh gaya belajar siswa dan dominasi kecerdasan yang
dimiliki masing-masing siswa. Dengan perbedaan kecerdasan inilah yang dapat
berpengaruh terhadap gaya belajar sehingga berpengaruh pula terhadap hasil
belajarnya.
Gaya belajar dapat menentukan
prestasi belajar anak. Jika diberikan strategi yang sesuai dengan gaya
belajarnya, anak dapat berkembang dengan lebih baik. Gaya belajar otomatis
tergantung dari orang yang belajar. Artinya, setiap orang mempunyai gaya
belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar tidak bersifat kaku. Meski sudah
memiliki gaya belajarnya bukan berarti siswa tidak bisa mengembangkan metode
belajar yang lain. Jadi, ukuran keberhasilan paling penting adalah jika anak
bisa menangkap informasi yang kita sampaikan dan menikmati aktivitas
belajarnya.[ahf]
0 komentar:
Posting Komentar