oleh Abdul Halim Fathani
Pemerhati Pendidikan,
Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang
Dari
Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga
Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu
membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam
neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya
sebagai seorang pembohong.” [HR. Bukhari].
SETIAP manusia
–dalam kehidupan sehari-harinya, tentu tidak bisa dilepaskan dari
angka. Baik dalam kepentingan yang tingkat sederhana, sedang, sampai
yang tingkat tinggi. Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat
(2010) dalam artikelnya berjudul “Sulit Hidup Tanpa Angka” menyatakan
bahwa disadari atau tidak, aktivitas kita sangat terikat dan dibatasi
angka-angka. Setiap hari kita menggunakan ukuran angka dalam melakukan
aktivitas. Dalam ibadah shalat pun kita mesti mengingat jumlah rakaat.
Dalam berzakat ada istilah nisab, batas minimal kekayaan yang mesti
dizakati. Dalam membayar pajak juga ada rumusan besaran angka. Ketika
terjadi pertandingan sepak bola antara timnas Indonesia dan Malaysia,
keputusan akhir juga dirumuskan dalam skor angka.
Dalam aktivitas yang akrab dan ringan, kita selalu saja berhubungan dengan angka, misalnya sebagai berikut:
a) Berapa harga buku dengan judul “X”? Maka, jawabannya adalah buku ini harganya Rp 25.500,00 atau lainnya.
b) Ketika
mau melakukan ibadah shalat, tentu akan melihat jam, untuk memastikan
apakah sudah masuk waktu shalat atau belum? Untuk shalat Dhuhur,
misalnya sekitar jam 11.40.
c) Dalam
suatu keluarga, jika kita menjawab pertanyaan seseorang berapa anak
dalam satu keluarga? Berapa yang anak laki-laki? Berapa anak perempuan?,
maka tentu membutuhkan “bantuan” angka untuk menjawabanya.
d) Menentukan
agenda kantor atau pribadi, tentu kita selalu melihat kalender, untuk
menentukan tanggal berapa agenda tersebut dilaksanakan.
e) Misalkan
ketika kita memesan nasi prasmanan. Maka, pertanyaannya adalah berapa
porsi yang kita pesan, dan setiap porsi berapa harganya?
f) Berapa umur kita? Berapa tinggi badan kita? Berapa berat badan kita?
g) Dan seterusnya
Beberapa
item di atas, dapat dengan mudah menjawabnya, tidak perlu dilakukan
riset mendalam, karena berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Dan,
(mungkin) untuk menjawab secara “jujur” pun tidak keberatan. Namun, ada
beberapa hal yang ketika kita menggunakan angka sebagai patokannya,
harus dilakukan kajian atau riset terlebih dahulu, bahkan untuk menjawab
“jujur” pun harus berpikir dulu dan cenderung sulit diwujudkan, seperti
berikut ini.
Ketika
dalam proses pembelajaran matakuliah tertentu, setiap dosen akan
memberi nilai kepada mahasiswa, tentu tidak boleh “ngawur”, melainkan
harus melandaskan pada data dan fakta selama proses pembelajaran.
Tentunya, nilai A, B, C, dan seterusnya –sejatinya- harus dapat
menggambarkan kualitas atau mutu yang sesungguhnya (minimal mendekati)
pada mahasiswa bersangkutan. Sehingga “angka” pada Kartu Hasil Studi
(KHS) mahasiswa benar-benar dapat menunjukkan kualitas riil mahasiswa
bersangkutan.
Namun,
kadang juga terjadi, mahasiswa yang memperoleh nilai bagus (semisal IPK
3,99) ternyata dalam realitanya ia kalah “berkompetisi” di masyarakat
dengan mahasiswa lain yang nilainya tidak terlalu bagus (semisal IPK
2,99 atau justru 1,99). Jika demikian, tentu tantangannya dikembalikan
lagi kepada mahasiswa yang bersangkutan. Bagi mahasiswa yang nilainya
bagus, diharapkan dapat “mempertanggungjawabkan” angka-nilainya dalam
praktik kehidupan sesungguhnya. Sebaliknya, bagi mahasiswa yang nilainya
jelek, tidak perlu putus asa. Tetapi justru menjadikan sebagai
tantangan, yakni mahasiswa bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa
angka-nilainya yang jelek tersebut, biarlah itu “hanya” berhenti di
transkrip nilai. Selanjutnya, mahasiswa dapat membuktikan bahwa
kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya jauh melebihi yang
tertulis di transkrip.
Dari
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya pendidikan itu
seharusnya bukan hanya berorientasi kepada pemerolehan nilai, tetapi
–yang paling utama- harusnya berorientasi pada pemahaman materi. Apabila
materi dapat dikuasai-pahami, maka angka-nilai dengan sendirinya akan
menyertainya. Kualitas seseorang tidak hanya persoalan angka matematis,
namun banyak sekali hal-hal yang tidak dapat diukur dengan angka.
Terkait
hal ini, maka ketika menyatakan suatu kualitas dengan angka, maka satu
hal yang perlu diperhatikan adalah “kejujuran”. Data statistik atau
hasil polling seyogianya dapat menggambarkan secara benar dan apa
adanya. Misalnya, ketika kita akan menyatakan tingkat kepuasan
masyarakat terhadap keberhasilan pemerataan pendidikan, maka dituntut
dapat memberikan data seakurat mungkin. Karena, meng’angka’kan kualitas
memang bukan perkara yang mudah. Namun, jika kita bisa memegang kata
kunci kejujuran, niscaya akan didapatkan data kuantitas yang akan
berbanding lurus dengan kualitas.
Kalau kita membaca kitab Ihya Ulumudiin,
karangan Imam al-Ghazali, maka kita akan menemukan pembagian sifat
jujur. Cendikiawan sekaligus tokoh pendidikan Islam ini membagi sikap
jujur menjadi 6 (enam) kategori, yaitu 1) jujur
dalam lisan dan bertutur kata; 2) jujur dalam berniat dan berkehendak;
3) jujur dalam berobsesi dan bercita-cita; 4) jujur dalam menepati
obesesi; 5) jujur dalam beramal dan bekerja; dan 6) jujur dalam
maqam-maqam beragama.
Pembagian
jenis jujur menurut al-Ghazali tersebut berbenang merah dengan manusia
yang bekepentingan dengan pendidikan (lisan, bertutur kata, niat,
obsesi, cita-cita, beramal, dan bekerja). Adanya korelasi antara
kejujuran dan pendidikan, sebenarnya bisa menciptakan suatu keunggulan
pada diri manusia. Faktanya, kita mengenal Rasulullah saw adalah sosok
yang jujur. Dengan kejujuran itulah beliau menjadi pemimpin yang
berhasil dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dalam keluarga, bisnis,
politik, sosial, dan budaya. Padahal menurut riwayat, beliau tidak
mendapatkan pendidikan formal yang tinggi. Beliau bisa mencapai
kesuksesan bukan dari lomba, kompetisi atau sejenisnya yang dinilai
dengan angka, tetapi dari budi pekertinya yang terpuji, termasuk jujur.
Berpijak
pada hal inilah, maka menjadi suatu keniscayaan jika gambaran angka
pada suatu kuantitas harus dapat mendeskripsikan secara “apa adanya”
pada kualitas yang digambarkan. Data kuantitas cenderung tetap dan tidak
berubah, sementara data kualitas cenderung mengalami perubahan sesuai
dengan kondisi riil yang terjadi. Oleh karenanya, satu hal yang penting,
gambaran secara angka –seharusnya- tidak menjadi satu-satunya patokan
untuk pengambilan keputusan. Gambaran kualitas yang sering berubah
seiring dengan perkembangan waktu pun laik dipertimbangkan. Dan,
kejujuran dalam hal ini menjadi sesuatu yang penting. [ahf]
0 komentar:
Posting Komentar