KOMPAS.com - Minimnya peralatan di daerah tidak
membuat para guru ini menyerah. Mereka memilih untuk berkreasi demi
memberikan pengajaran yang maksimal kepada anak-anak didiknya dengan
mengembangkan alat pembelajaran kreatif dari alam.
Dengan daun dan batu, Ibu Guru Lia dan Ibu Guru Linda bisa mengajarkan penjumlahan bilangan positif dan negatif kepada murid-murid kelas IV. Ratih Dwiastuti yang menjadi pengajar muda di SD Negeri 4 Langkahan, Aceh Utara, mengaku banyak belajar dari perjuangan mereka.
Mereka tetap menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan mengikuti Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Namun, alih-alih mengeluhkan minimnya peralatan untuk mewujudkan RPP dan PAIKEM, para ibu guru ini memilih untuk berjuang dan mengembangkan kreativitas demi memberikan pengajaran terbaik.
RPP dan PAIKEM boleh tampak membosankan, namun alam memberikan banyak inspirasi. Bagi guru, juga bagi para generasi penerus bangsa.
Dengan daun dan batu, Ibu Guru Lia dan Ibu Guru Linda bisa mengajarkan penjumlahan bilangan positif dan negatif kepada murid-murid kelas IV. Ratih Dwiastuti yang menjadi pengajar muda di SD Negeri 4 Langkahan, Aceh Utara, mengaku banyak belajar dari perjuangan mereka.
Mereka tetap menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan mengikuti Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Namun, alih-alih mengeluhkan minimnya peralatan untuk mewujudkan RPP dan PAIKEM, para ibu guru ini memilih untuk berjuang dan mengembangkan kreativitas demi memberikan pengajaran terbaik.
RPP dan PAIKEM boleh tampak membosankan, namun alam memberikan banyak inspirasi. Bagi guru, juga bagi para generasi penerus bangsa.
"Berhenti Mengutuk PAIKEM, Nyalakan Lilin Kreativitas!"
Siang hari bolong, jam menunjukkan pukul 14:00, seisi ruangan sudah mulai sibuk dengan “pikiran”nya masing-masing. Itulah suasana yang jelas terlihat pada saat Pelatihan Guru Langkahan tentang “RPP Berkarakter”, di SD Negeri 7 Langkahan awal Februari 2013. Mungkin para guru dimanapun berada sudah berkali-kali ‘dijejali’ mengenai RPP, baik itu ketika kuliah maupun pelatihan. Berubah sistem, berubah pula format RPP. Maka tak heran ketika pelatihan berlangsung dan sudah lewat waktu istirahat siang, para peserta pelatihan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Di tengah-tengah suasana itu, muncul 2 orang guru yang sedang mendapat micro teaching, membawa dedaunan dan batu2an dari luar kelas. Semua benda itu digunakannya sebagai alat peraga untuk micro teaching. Sontak semua peserta mulai memusatkan perhatian ke kedua guru tersebut.
Dengan ekspresi yang masih segar, kedua guru tersebut memulai micro teaching-nya. Mereka menggunakan daun dan batu-batu tersebut sebagai alat peraga pelajaran matematika kelas IV tentang penjumlahan bilangan positif dengan negatif. Masing-masing daun bernilai +1 dan masing-masing batu bernilai -1. Kemudian batu dan daun-daun tersebut dijajarkan sesuai permintaan soal dan akan terlihat jawabannya. Melihat penjelasan yang begitu konstruk dan menggunakan alat peraga yang sederhana, sontak guru lain pun kembali ‘melek’ dan menyimak. Penampilan micro teaching dari 2 bintang hari itu, Bu Linda dan Bu Lia cukup mendapat ‘standing applause’ dari tutor dan peserta.
Saat istirahat, saya sempat berbincang dengan mereka. Bu Lia dan Bu Linda tinggal di Lhokseumawe dan mengajar di SD Negeri 6 Langkahan. Waktu tempuh antara tempat tinggal dan sekolah tempat mengajar sekitar 2 jam. Melihat kondisi ini, mereka menyewa rumah di Panton Labu, kota kecil terdekat dari Langkahan. Setiap akhir pekan, mereka baru pulang ke Lhokseumawe. Ketika Olimpiade Sains Kuark 2013 diadakan di Lhokseumawe, Pengajar Muda Aceh Utara juga mengadakan pameran alat pembelajaran kreatif dari guru-guru UPTD kami ditempatkan. Tanpa pikir panjang, saya dan Vira langsung menghubungi Bu Lia dan Bu Linda. Ketika hal ini saya sampaikan ke UPTD, pengawas pun sangat setuju jika mereka berdua yang diutus ke Lhoksemawe dari UPTD Tanah Jambo Aye (UPTD Langkahan masih gabung dengan UPTD Tanah Jambo Aye).
“Kami senang kalau dilibatkan ke acara seperti ini. Meskipun keluar uang untuk ongkos, tetapi timbal baliknya dapat pengalaman dan ilmu baru.”, ujar Bu Lia dan Bu Linda. Prinsip ‘hana peng, hana kegiatan (tidak ada uang, tidak ada kegiatan)’, tidak berlaku untuk mereka.
Memang terlihat biasa saja perjuangan dari kedua guru ini. Tetapi saya merasa bahwa diantara banyak orang yang ‘mengutuk’ tuntutan untuk menerapkan PAIKEM dengan alasan kendala pembelian bahan-bahan alat peraga dan tidak sempat membuat, masih ada yang lebih memilih untuk ‘menyalakan lilin kreativitas’ dengan memberdayakan sumber daya atau bahan-bahan yang ada. Kalau Indonesia Mengajar memiliki semangat “berhenti mengutuk kegelapan, nyalakan lilin”, maka Bu Lia dan Bu Linda saya simpulkan memiliki prinsip “berhenti mengutuk PAIKEM, nyalakan lilin kreativitas”. Saya yakin masih banyak Bu Linda dan Bu Lia lain di penjuru negeri ini...:)
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/25/17431399/Belajar.Matematika.dengan.Daun.dan.Batu
0 komentar:
Posting Komentar