Oleh Hendra Gunawan
Tulisan ini merupakan tulisan lama, dan pernah dimuat di Kompas pada
27 Mei 1997. Namun saya merasa sebagian besar pesan dalam tulisan ini
masih relevan saat ini. Selamat membaca dan merenungkannya!
Pada Kompas 29 April 1997 J. Drost SJ
mengemukakan permasalahan pengajaran sains di sekolah menengah dan di
perguruan tinggi. Berdasarkan pengamatannya, sains sebagai ilmu murni
termasuk mata pelajaran atau mata kuliah yang tidak disukai oleh siswa
atau mahasiswa. Nilai paling rendah selalu untuk sains, dan bahkan
mahasiswa sains pun cenderung memilih mata kuliah fisika teoritis dan
kimia teoritis, yang lebih dekat dengan matematika. Matematika, menurut
kesimpulannya, bukanlah momok. Kebanyakan pengajar sains pun malah
mematematikakan sains. Mekanika gaya lama dikatakannya sebagai
matematika bergambar hias.
Membaca tulisan Drost tersebut, muncul kesan bahwa matematika
seolah-olah hanya merupakan sekumpulan aksioma, rumus, dan dalil belaka.
Matematika, seperti halnya bidang-bidang studi lain selain sains, hanya
merupakan sekumpulan fakta (what) dan cara bertindak (how) yang dapat dihafalkan tanpa harus memahami mengapa (why)
semua itu dapat terjadi. Sebagai seorang matematikawan, saya tergelitik
untuk menanggapi tulisan tersebut, khususnya mengenai matematika itu
sendiri dan permasalahan sekitar pengajarannya.
***
Jika sains memang telah diajarkan sebagai ‘matematika bergambar
hias’, apalagi diajarkan oleh seorang pengajar yang tidak begitu
mendalami matematika, maka saya turut prihatin. Namun, jika benar bahwa
siswa atau mahasiswa lebih menyukai matematika daripada sains, walaupun
matematika baginya hanyalah merupakan sekumpulan rumus dan dalil yang
tidak perlu dipusingkan mengapa semua itu berlaku, maka saya —sebagai
matematikawan— merasa agak lega. Karena selama ini justru saya
beranggapan bahwa matematika termasuk momok yang mengerikan bagi siswa
sejak di sekolah dasar sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan
pengalaman saya mengajar di perguruan tinggi selama beberapa tahun,
nilai matematika justru selalu paling rendah, lebih rendah daripada
nilai fisika atau kimia, misalnya. Apa masalahnya?
Permasalahan dalam pengajaran matematika muncul sejak di sekolah
dasar. Matematika hanya diajarkan bahkan sebagai simbol-simbol tak
bermakna, tak berguna, dan tak ada hubungannya dengan dunia nyata.
Keempat operasi aritmetika dasar diajarkan, lebih tepatnya dijejalkan
kepada siswa, lengkap dengan sifat-sifat dasarnya, pada tahun-tahun
pertama. Soal seperti “25 keping uang Rp 5,- bernilai sama dengan 5
keping uang Rp …?” ditanyakan kepada siswa kelas I SD yang belum
mengenal perkalian! Maksudnya barangkali menerapkan sifat komutatif
perkalian dalam kehidupan sehari-hari, namun si Guru lupa bahwa keping
uang Rp 5,- sudah hilang dari peredaran, sementara keping uang Rp 25,-
pun semakin sulit dicari sekarang ini. Siswa kemudian menganggap bahwa
matematika itu jauh dari dunia nyata, karena soal-soalnya sering
mengada-ada.
Mengajar matematika, baik di sekolah dasar maupun di perguruan
tinggi, dapat menjadi pekerjaan yang sulit, apalagi bila pengajar tidak
mempunyai wawasan yang luas tentang matematika. Dalam mengajar acap kali
kita perlu memberi motivasi kepada siswa atau mahasiswa dan untuk itu
kita harus mencari soal-soal yang menarik dan relevan dengan kehidupan
sehari-hari (atau dengan bidang ilmu yang sedang dituntut oleh
mahasiswa). Pekerjaan ini bisa dikatakan gampang-gampang susah. Dengan
beban kurikulum yang begitu berat, guru sering kali terjebak mengejar
materi ajar. Akhirnya, yang terjadi adalah matematika diajarkan sebagai
sekumpulan rumus dan dalil belaka, disertai dengan contoh-contoh soal
apa adanya.
***
Matematika, sesungguhnya, ada di sekitar kita. Bilangan, objek
matematika yang paling mendasar, dipakai di mana-mana untuk menandai
tanggal, menyatakan usia, ukuran, peringkat, menomori rumah, kendaraan
bermotor, rekening bank, halaman buku, dan sebagainya. Keempat operasi
aritmetika dasar, yakni penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian, banyak muncul dalam persoalan sehari-hari. Perkalian,
misalnya, dilakukan apabila kita ingin menghitung dengan cepat
banyaknya kursi yang berjejer dalam 6 baris, masing-masing terdiri dari 8
kursi, katakan. Banyaknya kursi tersebut dapat dihitung sebagai 6 x 8
atau 8 x 6, dan sifat komutatif pun naik ke permukaan. Kuadrat dan akar
juga tidak jauh dari persoalan sehari-hari. Jika panjang ruas garis AB
adalah x cm, dan panjang ruas garis BC yang tegak lurus pada ruas garis AB adalah y cm, maka panjang ruas garis AC dapat dihitung dengan menggunakan rumus Pythagoras, yakni (x2+y2)1/2
cm. Matematika tingkat tinggi tersembunyi di balik pesawat telepon,
televisi, komputer, kulkas, dan peralatan lainnya di dalam rumah kita
sendiri.
Matematika, dalam perkataan sederhana, tidak lain adalah pemodelan
(simbolisasi, kuantisasi, dan/atau matematisasi) dari berbagai fenomena
alam dan persoalan nyata. Di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan apa
(what), mengapa (why), dan bagaimana (how). Rumus
dan dalil tidak begitu saja turun dari langit, namun sering kali
diperoleh melalui proses yang panjang dan berliku. Rumus dan dalil ini
menjadi penting karena fungsinya sebagai jembatan: ketika kita berada di
mulut jembatan, maka dengan rumus atau dalil tersebut kita sampai di
seberang jembatan, tanpa harus meniti jembatan tersebut! Matematika
merupakan cara berpikir atau bernalar (atau cara berhitung untuk anak
sekolah dasar), cara atau bahasa untuk memahami berbagai pola, struktur,
gejala, atau fenomena. Matematika mutlak diperlukan untuk memahami
sains, bukan untuk mengubah sains menjadi matematika bergambar hias!
Matematika sendiri juga bertumbuh sebagai ilmu yang kaya dengan
berbagai teori. Ada yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
ada pula yang tidak atau belum diketahui penerapannya. Tidak sedikit
cabang matematika yang pada mulanya berkembang tanpa kaitan dengan
persoalan nyata namun di kemudian hari ternyata mempunyai penerapan
dalam kehidupan sehari-hari seiring dengan kemajuan teknologi.
(Cabang-cabang matematika tertentu bertumbuh lebih cepat daripada
keperluannya!) Teori bilangan, aljabar Boole (Boolean algebra), dan matematika kabur (fuzzy mathematics) adalah beberapa di antaranya, yang penerapannya dapat dijumpai dalam kriptografi atau teori sandi, komputer, dan kulkas.
Pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana juga muncul dalam matematika
teoritis sekalipun. Misalnya, dalam teori matriks, kita bertanya apa itu
determinan, mengapa atau untuk apa kita mempelajari determinan,
bagaimana menghitung determinan sebuah matriks? Katakan kita mempunyai
sebuah matriks n x n, lalu kita hitung determinannya. Setelah itu kita tambahkan k kali baris ke-i ke baris ke-j,
sehingga kita peroleh sebuah matriks baru, lalu kita hitung pula
determinannya. Ternyata hasilnya sama dengan perhitungan sebelumnya. Apa
yang telah terjadi? Apakah itu hanya suatu kebetulan atau suatu
fenomena umum? Adakah fenomena yang lain?
***
Dalam belajar matematika, seperti mungkin dalam belajar ilmu lainnya juga, seseorang mesti pernah melalui tahapan mengalami (experiencing), mencoba-coba (experimenting), merenungkan (reflection), dan konseptualisasi (conceptualization).
Tidak seperti kebanyakan bidang ilmu lainnya, matematika justru sarat
dengan perenungan dan konseptualisasi. Namun sayangnya tidak demikian
dalam praktek pengajarannya. Di sekolah dasar, siswa sebaiknya lebih
banyak belajar melalui mencoba-coba dan mengalami. Walaupun demikian,
sekali-kali siswa dapat pula diajak merenungkan mengapa, misalnya, 8 x 6
= 6 x 8, kemudian dibawa ke konseptualisasi sifat komutatif perkalian
dua buah bilangan, yakni a x b = b x a. Sementara itu di perguruan tinggi, mahasiswa seharusnya lebih banyak diajak merenungkan dan konseptualisasi.
Bila diajarkan dengan baik dan benar, matematika sesungguhnya
merupakan mata pelajaran yang melatih siswa kritis, kreatif, berpikir
alternatif, berargumentasi ketat, menyatakan buah pikirannya baik dalam
lisan maupun tulisan secara sistematis, logis, dan lugas. Dalam
matematika juga dapat diajarkan pola berpikir deduktif dan induktif.
Bernalar kontradiktif, guna membuktikan bahwa sesuatu mustahil terjadi,
juga dapat diperkenalkan kepada siswa kelas III SMU atau mahasiswa tahun
pertama. Namun semua ini tidak akan tercapai bila pengajaran matematika
terjebak pada simbol-simbol yang tak bermakna dan tak berguna, sehingga
siswa merasa seperti seorang awam dihadapkan pada sebuah lukisan
abstrak. Walaupun indah, katanya, siapa yang akan mau ‘membelinya’?
Matematika ada bertebaran di sekitar kita, tidak perlu mencari ke awang-awang nun jauh di sana. Ini yang sering dilupakan oleh para pengajar matematika, baik di sekolah dasar, sekolah menengah, maupun di perguruan tinggi. Ketika ini terjadi, maka —lebih parah daripada sains— matematika akhirnya menjadi sesuatu berisikan simbol-simbol yang tak bermakna, dengan atau tanpa gambar hias!
Bandung, 7 Mei 1997
Sumber: http://www.bincangedukasi.com/matematika-sekumpulan-rumus-belaka.html
0 komentar:
Posting Komentar