Oleh Nurul Rahmawati
Di sebuah SD di Jawa Tengah.Habibi merasa galau. Bocah kelas II SD itu sedih lantaran PR matematikanya dicoret-coret dengan tinta merah oleh gurunya. Skor yang dia peroleh hanya 20. Habibi belum paham benar dengan soal-soal yang bikin dia mumet. Untunglah, dia punya kakak, Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa teknik mesin, yang siap mengajari dengan sabar dan telaten. Habibi percaya diri dengan jawaban sang kakak. Tapi, mengapa ternyata jawaban kakaknya dinilai salah oleh gurunya?
Soal itu berbunyi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 =.... Habibi menjawab 4 x 6 = 24. Rupanya, jawaban itu dianggap ’’salah total’’. Sebab, jawaban yang benar adalah 6 x 4 = 24.
Habibi tentu melapor kepada Erfas, sang ’’mentor’’ sekaligus kakaknya. Erfas terusik dengan nilai 20. Barangkali harga dirinya jatuh di hadapan si adik yang baru duduk di kelas II SD. Tidak menerima dengan penilaian sang guru, Erfas mengajukan ’’surat cinta’’ yang berisi protes.
Bu guru yang terhormat,
Mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengajarkan PR di atas.
Bu, bukankah jawaban dari Habibi benar semua?
Apakah hanya karena letaknya yang terbalik sehingga jawaban Habibi Anda salahkan?
Menurut saya, masalah peletakan bukan menjadi masalah, Bu. Misal, 4 x 6 = 6 x 4. Hasilnya sama-sama 24.
Terima kasih Bu, mohon perhatiannya. Semoga dapat dijadikan pertimbangan.
Mungkin surat itu hanya berhenti di meja ibu guru apabila Erfas tidak meng-upload-nya di Facebook. Ya, surat tersebut menjadi viral lantaran Erfas membahasnya di jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Ratusan orang men-share posting-an Erfas. Bahkan, itu dibahas di berbagai portal berita. Ratusan orang menganalisis dengan latar belakang akademis masing-masing. Sebagian mencela si guru, yang lain menimpakan kesalahan kepada Erfas.... Ada pula yang mengutuk sistem pembelajaran, ada yang menimpakan telunjuk kesalahan kepada Kemendikbud. Facebook menjadi riuh oleh 4 x 6 atau 6 x 4....
***
Lima belas tahun lalu, di sebuah elementary school (SD) di Amerika Serikat, seorang pria kandidat doktor tengah mengajukan protes kepada guru SD tempat sang anak belajar. Menariknya, protes itu bukan lantaran si bocah diberi skor 20. Justru, sang ayah protes karena karangan berbahasa Inggris yang ditulis si anak malah diberi nilai E (excellent) yang berarti sempurna, hebat, sangat bagus. Padahal, sang anak baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Menurut pria kandidat doktor itu, karangan sang anak buruk, logikanya sederhana, kemampuan verbal masih sangat terbatas sehingga tidak sepatutnya guru memberikan skor E.
’’Apa tidak salah memberikan nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat berpuas diri.’’ Begitu ujar sang kandidat doktor.
Sewaktu dia mengajukan protes, ibu guru yang menerima hanya bertanya singkat. ’’Maaf, Bapak dari mana?’’ ’’Dari Indonesia,’’ jawabnya. Dia pun tersenyum. Ibu guru yang simpatik itu berujar, ’’Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda. Namun, untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat.’’
***
Anda tahu, siapa kandidat doktor yang ’’memprotes’’ guru anaknya itu? Ya, dia adalah Prof Rhenald Kasali Phd. Dua cerita di atas sengaja saya sajikan supaya kita bisa lebih jeli dalam menyaksikan paradoks yang ’’menampar’’ wajah pendidikan kita.
Kasus 4 x 6 atau 6 x 4 adalah letupan kecil, sebuah contoh betapa guru plus sistem pendidikan kita belum mengembangkan budaya penghargaan kepada anak. Mengapa ketika ’’salah’’ menjawab, anak langsung diberi skor salah total? Mengapa tidak ada penghargaan bahwa anak sudah meluangkan waktu, untuk mau, bersedia mengorbankan waktu istirahat dan bermainnya untuk mengerjakan PR? Mengapa guru tidak mengapresiasi upaya anak yang mau mencari mentor dan bertanya kepada kakaknya? Dan, mengapa kita begitu terpaku dengan skor kuantitatif?
Terlalu banyak ’’mengapa’’ yang bisa tersaji. Yang pada intinya, semua itu bermuara kepada abainya kita untuk meng-encourage, menyemangati anak didik untuk do his or her best. Anak-anak hanya dipacu untuk mengerjakan soal, dengan kunci jawaban yang sudah dipegang erat oleh sang guru. Anak-anak nyaris tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi masing-masing. Ketika mengkreasikan sesuatu hal, anak-anak hanya menelan pil pahit berupa judgement dari guru: ’’Karya ini buruk sekali! Kurang rapi!’’ dan sebagainya. Sungguh menyedihkan.
Yang lebih parah lagi, beberapa SD negeri justru mencerabut hak anak untuk beribadah. Itu terjadi di sekolah anak saya. Jam masuk pukul 11.30 dan dia baru pulang pukul 16.30. Seharusnya dia salat Duhur di masjid dekat sekolah. Tapi, karena gerbang sekolah dikunci rapat, anak saya tidak pernah salat Duhur setiap hari! Wow. Inikah pendidikan yang didambakan oleh Kemendikbud? Menciptakan generasi yang hanya sendiko dawuh, taklid buta kepada guru, yang notabene justru tidak bisa meng-encourage anak didiknya?
***
Tampaknya, dunia pendidikan kita masih jalan di tempat. Saya menantang kabinet Jokowi untuk bisa menempatkan orang-orang terbaik di kementerian yang ’’seksi’’ ini. Buat apa anggaran tinggi, tapi distribusi buku masih acakadut, dan sistem belajar mengajar juga sami mawon, masih tereksekusi secara top-down dan ortodoks. Judulnya saja, Kurikulum 2013, Merangsang Nalar Dan Membangun Karakter. Tapi, guru-gurunya –yang sudah ikut pelatihan kurikulum–masih bermental old-school, mengandalkan bentakan, mata yang melotot tajam, plus tidak bisa menghargai anak didik.
Oh, maafkan curhat saya yang terlampau panjang. Saya tentu tidak rela anak-anak kita terdogma dalam sistem yang buruk, dan kita justru melahirkan Habibi-Habibi yang takut untuk mengembangkan nalar dan keilmuan. Ngomong-ngomong, saya yakin orang tua Habibi tentu ingin putranya kelak akan sebrilian Prof B.J. Habibie. Dan, saya hakulyakin, Habibie tak akan menjadi profesor hebat apabila matematikanya dulu hanya diberi skor 20 oleh sang guru.(*)
*) Pemerhati pendidikan, orang tua siswa kelas II SD (nurulnih@gmail.com)
Sumber: OPINI Harian JAWA POS, 26 September 2014
Di sebuah SD di Jawa Tengah.Habibi merasa galau. Bocah kelas II SD itu sedih lantaran PR matematikanya dicoret-coret dengan tinta merah oleh gurunya. Skor yang dia peroleh hanya 20. Habibi belum paham benar dengan soal-soal yang bikin dia mumet. Untunglah, dia punya kakak, Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa teknik mesin, yang siap mengajari dengan sabar dan telaten. Habibi percaya diri dengan jawaban sang kakak. Tapi, mengapa ternyata jawaban kakaknya dinilai salah oleh gurunya?
Soal itu berbunyi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 =.... Habibi menjawab 4 x 6 = 24. Rupanya, jawaban itu dianggap ’’salah total’’. Sebab, jawaban yang benar adalah 6 x 4 = 24.
Habibi tentu melapor kepada Erfas, sang ’’mentor’’ sekaligus kakaknya. Erfas terusik dengan nilai 20. Barangkali harga dirinya jatuh di hadapan si adik yang baru duduk di kelas II SD. Tidak menerima dengan penilaian sang guru, Erfas mengajukan ’’surat cinta’’ yang berisi protes.
Bu guru yang terhormat,
Mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengajarkan PR di atas.
Bu, bukankah jawaban dari Habibi benar semua?
Apakah hanya karena letaknya yang terbalik sehingga jawaban Habibi Anda salahkan?
Menurut saya, masalah peletakan bukan menjadi masalah, Bu. Misal, 4 x 6 = 6 x 4. Hasilnya sama-sama 24.
Terima kasih Bu, mohon perhatiannya. Semoga dapat dijadikan pertimbangan.
Mungkin surat itu hanya berhenti di meja ibu guru apabila Erfas tidak meng-upload-nya di Facebook. Ya, surat tersebut menjadi viral lantaran Erfas membahasnya di jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Ratusan orang men-share posting-an Erfas. Bahkan, itu dibahas di berbagai portal berita. Ratusan orang menganalisis dengan latar belakang akademis masing-masing. Sebagian mencela si guru, yang lain menimpakan kesalahan kepada Erfas.... Ada pula yang mengutuk sistem pembelajaran, ada yang menimpakan telunjuk kesalahan kepada Kemendikbud. Facebook menjadi riuh oleh 4 x 6 atau 6 x 4....
***
Lima belas tahun lalu, di sebuah elementary school (SD) di Amerika Serikat, seorang pria kandidat doktor tengah mengajukan protes kepada guru SD tempat sang anak belajar. Menariknya, protes itu bukan lantaran si bocah diberi skor 20. Justru, sang ayah protes karena karangan berbahasa Inggris yang ditulis si anak malah diberi nilai E (excellent) yang berarti sempurna, hebat, sangat bagus. Padahal, sang anak baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Menurut pria kandidat doktor itu, karangan sang anak buruk, logikanya sederhana, kemampuan verbal masih sangat terbatas sehingga tidak sepatutnya guru memberikan skor E.
’’Apa tidak salah memberikan nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat berpuas diri.’’ Begitu ujar sang kandidat doktor.
Sewaktu dia mengajukan protes, ibu guru yang menerima hanya bertanya singkat. ’’Maaf, Bapak dari mana?’’ ’’Dari Indonesia,’’ jawabnya. Dia pun tersenyum. Ibu guru yang simpatik itu berujar, ’’Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda. Namun, untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat.’’
***
Anda tahu, siapa kandidat doktor yang ’’memprotes’’ guru anaknya itu? Ya, dia adalah Prof Rhenald Kasali Phd. Dua cerita di atas sengaja saya sajikan supaya kita bisa lebih jeli dalam menyaksikan paradoks yang ’’menampar’’ wajah pendidikan kita.
Kasus 4 x 6 atau 6 x 4 adalah letupan kecil, sebuah contoh betapa guru plus sistem pendidikan kita belum mengembangkan budaya penghargaan kepada anak. Mengapa ketika ’’salah’’ menjawab, anak langsung diberi skor salah total? Mengapa tidak ada penghargaan bahwa anak sudah meluangkan waktu, untuk mau, bersedia mengorbankan waktu istirahat dan bermainnya untuk mengerjakan PR? Mengapa guru tidak mengapresiasi upaya anak yang mau mencari mentor dan bertanya kepada kakaknya? Dan, mengapa kita begitu terpaku dengan skor kuantitatif?
Terlalu banyak ’’mengapa’’ yang bisa tersaji. Yang pada intinya, semua itu bermuara kepada abainya kita untuk meng-encourage, menyemangati anak didik untuk do his or her best. Anak-anak hanya dipacu untuk mengerjakan soal, dengan kunci jawaban yang sudah dipegang erat oleh sang guru. Anak-anak nyaris tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi masing-masing. Ketika mengkreasikan sesuatu hal, anak-anak hanya menelan pil pahit berupa judgement dari guru: ’’Karya ini buruk sekali! Kurang rapi!’’ dan sebagainya. Sungguh menyedihkan.
Yang lebih parah lagi, beberapa SD negeri justru mencerabut hak anak untuk beribadah. Itu terjadi di sekolah anak saya. Jam masuk pukul 11.30 dan dia baru pulang pukul 16.30. Seharusnya dia salat Duhur di masjid dekat sekolah. Tapi, karena gerbang sekolah dikunci rapat, anak saya tidak pernah salat Duhur setiap hari! Wow. Inikah pendidikan yang didambakan oleh Kemendikbud? Menciptakan generasi yang hanya sendiko dawuh, taklid buta kepada guru, yang notabene justru tidak bisa meng-encourage anak didiknya?
***
Tampaknya, dunia pendidikan kita masih jalan di tempat. Saya menantang kabinet Jokowi untuk bisa menempatkan orang-orang terbaik di kementerian yang ’’seksi’’ ini. Buat apa anggaran tinggi, tapi distribusi buku masih acakadut, dan sistem belajar mengajar juga sami mawon, masih tereksekusi secara top-down dan ortodoks. Judulnya saja, Kurikulum 2013, Merangsang Nalar Dan Membangun Karakter. Tapi, guru-gurunya –yang sudah ikut pelatihan kurikulum–masih bermental old-school, mengandalkan bentakan, mata yang melotot tajam, plus tidak bisa menghargai anak didik.
Oh, maafkan curhat saya yang terlampau panjang. Saya tentu tidak rela anak-anak kita terdogma dalam sistem yang buruk, dan kita justru melahirkan Habibi-Habibi yang takut untuk mengembangkan nalar dan keilmuan. Ngomong-ngomong, saya yakin orang tua Habibi tentu ingin putranya kelak akan sebrilian Prof B.J. Habibie. Dan, saya hakulyakin, Habibie tak akan menjadi profesor hebat apabila matematikanya dulu hanya diberi skor 20 oleh sang guru.(*)
*) Pemerhati pendidikan, orang tua siswa kelas II SD (nurulnih@gmail.com)
Sumber: OPINI Harian JAWA POS, 26 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar