R Poppy Yaniawati ;
Guru Besar Pendidikan Matematika,
Sekretaris Magister Pendidikan Matematika Universitas Pasundan
Polemik kasus pekerjaan rumah (PR) Matematika siswa kelas 2 SD di
Semarang yang sedang ramai diperbincangkan menuai banyak pro dan kontra.
Kasus guru menyalahkan hasil pekerjaan si anak oleh sejumlah pihak dianggap
tidak tepat.
Kasus ini menjadi perhatian pemerhati media sosial, tak ayal mengundang
pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk turut angkat bicara. Guru
memberikan soal 4+4+4+4+4+4=...x...=... Humas Kemendikbud Ibnu Hamad di salah
satu situs media sosial menyatakan, siswa berhak menjawab sesuai penalarannya
yang dia rasa mendekati jawaban yang dimaksud.
"Nah dalam kasus itu, bisa saja si siswa memberikan jawaban 4x6
atau 6x4. Itu nggak salah karena dalam penalaran nggak harus memberikan satu
jawaban," kata Ibnu. Dia menambahkan, seharusnya guru tidak memaksakan
hasil kerja anak seperti yang dia inginkan. "Seharusnya tidak terjadi
itu, tidak musim lagi guru yang tidak sesuai dengan pikirannya lalu dianggap
salah. Itu kan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih
masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang," kata Ibnu
Hamad.
Menurut penulis, guru tersebut tidak mutlak bersalah karena dalam
matematika --sebagai ilmu dasar-- ada hal yang tidak bisa dikompromikan.
Memang dalam soal matematika dikenal open ended, yakni soal yang memiliki
lebih dari satu cara penyelesaian ataupun jawaban.
Namun, tidak tepat digunakan dalam memahami konsep pada kasus soal yang
menjadi polemik tersebut. Analog sederhana dalam konteks soal itu, dokter
memberikan resep obat 3x1, itu berbeda makna dengan 1x3 walau sama-sama 3
jawabannya.
Contoh lain lagi, dalam bentuk aljabar 3Y=3xY = Y+Y+Y, apakah bisa
diubah dengan Yx3=Y3=3+3+... sebanyak Y, Y di sini sangat tidak jelas.
Perlu dimaklumi pada kasus itu si guru sedang menjelaskan suatu konsep
yang tidak bisa dikompromikan, karena bila itu ditolerir maka akan berimbas
sangat luas, dan bahkan bisa membahayakan kehidupan si anak di kemudian
hari.Misalnya dengan memakan obat 3 kali sekaligus sebagaimana analog di
atas.
Kalaupun ada yang mengatakan suatu konsep itu bergantung pada
kesepakatan dengan argumen yang tepat, memang bisa saja dilakukan. Tetapi,
yang dipakai si guru itu kesepakatan dan konvensi yang sudah berlaku, yakni
a+a+a... sebanyak n adalah sama dengan nxa, dan bila jawabannya axn, itu
salah.
Kalaupun selanjutnya ternyata nxa=axn, ini akibat dari sifat aljabar
bilangan real, yaitu berlaku sifat komutatif. Kesepakatan ini sudah digunakan
juga oleh banyak bidang ilmu lainnya, jika kita mau mengubah kesepakatan itu
sah-sah saja, tetapi harus ada argumentasi yang kuat dan diketahui oleh
khalayak banyak sehingga menjadi kesepakatan yang baru agar dapat diketahui
guru. Jadi, tidak sekadar membenarkan pendapat umum yang bersifat sporadis
karena akan berimplikasi pada konvensi lain yang berhubungan dan bersifat
turunannya.
Berkaitan dengan itu, seyogianya semua pihak yang berkompeten harus
mulai menghormati kedudukan guru sebagai profesi. Hal yang wajar bila
masyarakat mengemukakan sesuatu yang menurut mereka "aneh" dan
tidak masuk akal, tetapi pihak otoritas yang seyogianya memahami terlebih
dahulu duduk soal lebih baik, bisa menjelaskan dengan proporsional, bukan
malahan menyalahkan bahkan menghukum guru dengan pernyataan yang hanya
sekadar memuaskan publik semata.
Memang tidak menutup mata, masih ada guru miskonsepsi dalam
pembelajaran matematika. Untuk soal open
ended, misalnya, di kelas 1 SD, guru meminta peserta didik untuk
menggambar bangun segitiga dan segiempat. Peserta didik menjawab dengan
menggambar bangun rumah yang atapnya berbentuk segitiga dan jam dinding yang
berbentuk segiempat.
Lantas guru menyalahkan jawaban itu karena yang diminta hanya membuat
bangun segitiga dan segiempat saja, tanpa harus ada gambar rumah dan jam
dinding. Contoh itu menandakan guru belum paham konsep karena open ended memberi ruang bagi peserta
didik berekspresi selama substansinya tidak menyimpang.
Selain itu, kompetensi pedagogik guru yang dipadankan dengan kompetensi
kepribadian harus benar-benar dijalankan. Penulis tidak tahu persis kejadian
itu, tapi alangkah bijaksananya bila guru dalam kasus itu juga dapat
menjelaskan kepada siswanya yang baru kelas 2 SD itu tentang berpikir konsep
yang benar. Artinya, tidak semata langsung memberi tinta merah dan
menyalahkan karena tinta merah tanpa jawaban yang sepadan akan membentuk
kecemasan permanen kepada diri siswa dan sekaligus memvonis matematika sebagai
pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Ada baiknya guru memberi nilai baik (70-100) atau di atas KKM untuk
siswa yang menjawab benar, tetapi tidak memberi nilai jelek apalagi dengan
tinta merah jika jawaban siswa belum benar. Cukup memberikan komentar agar
tahu letak kesalahannya.
Pembelajaran matematika harus diubah dari pendekatan punishment menjadi
reward dan enjoy, sebagaimana dijalankan di Amerika Serikat, Finlandia,
Jepang, Australia, dan lainnya. Sekecil apa pun hasil kerja baik siswa harus
selalu mendapat reward.
Selain itu, matematika untuk tingkat SD berbeda dengan tingkat lanjut.
Pemberian soal sebaiknya banyak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari karena
siswa SD masih pada tahap berpikir konkret. Dengan demikian, pembelajaran
matematika, sebagai ilmu dasar, yang benar secara masif, bukan hanya sekadar
seremoni dan mengejar target bisa menjawab soal ujian serta mendapat
penghargaan olimpiade semata yang kerap menjadi beban tersendiri bagi para
guru. ●
Sumber: Republika, 26 September 2014
Polemik seperti ini seharusnya terjadi,,
BalasHapus