Hendra Gunawan;
Guru
Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
ADA kejadian luar biasa di
negeri kita pada September 2014 ini. Tiba-tiba orang Indonesia ramai
berbicara tentang soal matematika walau yang menjadi topik pembicaraan
”hanya” seputar 4 x 6 atau 6 x 4. Pada mulanya siswa kelas II sekolah dasar
diminta mengerjakan sejumlah soal penjumlahan berulang oleh gurunya. Siswa
diminta menuliskan penjumlahan berulang tersebut sebagai bentuk perkalian
terlebih dahulu sebelum menuliskan jawabannya. Seorang siswa menulis:
Oleh gurunya, ia pun disalahkan. Gurunya menulis bahwa penjumlahan
berulang tersebut seharusnya adalah 6 x 4, bukan
4 x 6. Kakak sang siswa protes dan mengunggah lembar jawaban adiknya
yang telah diperiksa oleh guru tersebut ke media sosial. Indonesia pun
ramailah. Bahkan, di tengah riuhnya soal pilkada lewat DPRD, anggota DPR pun
turut bicara. Seru!
Beberapa
isu
Memang ada beberapa isu dalam kasus di atas. Pertama, apa arti tanda
”=” (baca: sama dengan) dalam konteks ini. Ketika guru menyalahkan jawaban
anak tersebut, ia sesungguhnya sedang menerapkan arti ”=” yang khas dalam
matematika, yaitu ”=” yang dinobatkan atau didefinisikan, bukan ”=” yang
merupakan fakta atau konsekuensi dari asumsi-asumsi sebelumnya.
Sebagai contoh, dalam kalimat: jika n = 1, maka n2 = 1, tanda ”=” yang
pertama berbeda artinya dari tanda ”=” yang kedua.
Sebagai bilangan kardinal (yang menyatakan banyaknya sesuatu), 4 + 4 =
8 = 10 – 2. Kesamaan di sini bukan definisi. Demikian juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4
+ 4 = 4 x 6 = 24. Akan tetapi, dalam kasus di atas, sang guru menuntut
siswanya menjawab 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 = 24.
Perhatikan bahwa tanda ”=” yang pertama dalam hal ini merupakan ”=”
yang didefinisikan. (Dapat diduga bahwa sebelumnya guru tersebut telah
mendefinisikan perkalian dua bilangan bulat positif sebagai penjumlahan
berulang, atau sebaliknya: penjumlahan berulang sebagai perkalian.)
Bagi siswa kelas II SD, ini tentu merupakan isu besar. Saya pun
bertanya: apakah anak kelas II SD sudah cukup matang untuk diajak ”bermain”
dengan definisi? Menurut saya, belumlah waktunya bagi guru menuntut siswa
bekerja dengan definisi (yang ketat pula). Apalagi meminta siswa menuliskan
kalimat matematika yang mengandung dua tanda ”=” yang berbeda artinya!
Yang namanya definisi itu kesepakatan. Bijakkah guru, seorang manusia
dewasa yang sudah bisa berpikir abstrak, mengajak siswa kelas II SD, yang
masih berpikir dalam tahap konkret, bersepakat tentang sesuatu yang baru akan
mereka pelajari? Rasanya tidak.
Lagi pula, dalam matematika, definisi tidak harus unik. Beberapa
definisi yang setara bisa dibuat untuk satu hal yang sama. Mengapa memaksakan
satu versi definisi?
Isu kedua berkenaan dengan penyajian soal. Penjumlahan berulang memang
diajarkan lebih dulu daripada perkalian. Namun, soal di atas jelas
memperlihatkan, perkalian hanya dianggap sebagai ”singkatan” dari penjumlahan
berulang. Bahkan, kita bisa mempertanyakan, andaikan siswa menulis 4 + 4 + 4
+ 4 + 4 + 4 = 6 x 4 (sebagai definisi), bagaimana kemudian ia tahu bahwa 6 x
4 = 24 (sebagai fakta)?
Pada hemat saya, urutannya yang lebih bisa diterima adalah 6 x 4 = 4 +
4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Ini pun dengan catatan bahwa ada dua tanda ”=” yang
berbeda artinya dalam kalimat ini.
Bagaimana
sebaiknya?
Jadi bagaimana sebetulnya, atau katakanlah sebaiknya? Penjumlahan
berulang sebetulnya bisa dipandang sebagai metode atau cara untuk
menyelesaikan masalah perkalian. Karena itulah, sebelum siswa belajar
perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya,
ketika siswa belajar perkalian, ”senjata” untuk menyelesaikannya sudah ada.
Ingat bagaimana siswa kelas I SD belajar penjumlahan. Sebelumnya siswa
belajar menghitung maju lebih dulu. Budi memiliki 5 butir kelereng. Pada hari
ulang tahunnya ayahnya memberi ia 10 butir kelereng baru. Berapa banyakkah
kelereng Budi kemudian? Jawabannya tentu 15.
Namun, bagaimana jawaban ini diperoleh? Siswa menghitung maju, 5 di
kepala, 10 di tangan. Masih ingat, bukan? Namun, ada cara kedua, yang lebih
efisien, 10 di kepala, 5 di tangan. Dengan cara pertama, siswa menulis:
5 + 10 = 15. Dengan cara kedua, siswa menulis: 10 + 5 = 15.
Nah, untuk perkalian, guru
seyogianya memulai dengan masalah perkalian, lalu meminta anak untuk
menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan berulang. Masalah atau soal
perkalian seperti apa? Soal alami perkalian adalah soal luas daerah persegi
panjang. Akan tetapi, untuk anak kelas II SD, tentu guru harus memilihkan
soal yang cukup konkret bagi anak. Sebagai contoh, mintalah anak menghitung
banyak ubin pada lantai, yang terdiri atas 4 baris, masing- masing baris
terdiri atas 6 ubin.
Bagaimana
anak menghitungnya?
Ingat, anak sudah diajarkan penjumlahan berulang sebelumnya. Dalam hal
ini, anak bisa menghitungnya baris per baris:
6 + 6 + 6 + 6 = 24. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya cara. Anak juga
bisa menghitung kolom per kolom: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Bahkan, anak
yang belum mantap dengan penjumlahan berulang bisa juga mencacah ubin
tersebut: 1 + 1 + … + 1 = 24. Semuanya benar.
Guru kemudian dapat memberi soal serupa, misalnya: ”Ada 3 baris ubin, masing-masing terdiri atas 9 ubin. Berapa ubin
semuanya?” Setelah cukup bermain dengan ubin, guru pindah ke papan tulis
dan menulis (misalnya): Ini adalah 4 x 6.
Bagaimana menghitungnya? Berdasarkan permainan dengan ubin sebelumnya,
4 x 6 dapat dihitung baris per baris sebagai 6 + 6 + 6 + 6 atau kolom per
kolom sebagai 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4. Dengan cara pertama, siswa menulis: 4 x
6 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24. Dengan cara kedua, siswa menulis: 4 x 6 = 4 + 4 + 4 +
4 + 4 + 4 = 24. Di sini tanda ”=” bukan definisi, tetapi fakta atau
konsekuensi terkait dengan cara menghitungnya.
Kalau ada siswa yang bertanya, ”Bu,
bolehkah saya anggap gambar di atas sebagai 6 x 4?” Guru yang ramah akan
menjawab: ”Mengapa tidak, Nak? Kalau
kamu anggap 6 x 4, memangnya bagaimana kamu akan menghitungnya? Sama saja,
bisa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4, atau 6 + 6 + 6 + 6, ya, bukan?”
Soal lainnya yang juga merupakan masalah perkalian bisa diberikan.
Misalnya, ada 10 kantong, masing-masing berisi 2 butir kelereng. Berapa
kelereng semuanya?
Ya, ini adalah masalah perkalian 10 x 2, seperti kata Prof Yohanes
Surya. Akan tetapi, bagaimana menghitungnya? Bagi sebagian siswa, banyak
kelereng semuanya sama dengan 2 + 2 + ... + 2 = 20. Siswa yang menjawab
seperti ini mungkin membayangkan dirinya menghitung kelereng kantong per
kantong.
Siswa yang lain membayangkan dirinya mengeluarkan kelereng dari
masing-masing kantong, lalu menjejerkannya sebagai berikut:
1 2 3
4 5 6
7 8 9
10
1 * *
* * *
* * *
* *
2 * *
* * *
* * *
* *
Kemudian ia berpikir bahwa akan lebih mudah baginya bila ia menghitung
”baris per baris”: ”kelereng pertama” dari masing- masing kantong berjumlah
10, demikian juga ”kelereng kedua”. Jadi, banyak kelereng semuanya 10 + 10 =
20.
Membangun
pemahaman
Apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah: jangan
terburu-buru ”bermain” dengan definisi, apalagi dengan siswa SD kelas bawah.
Untuk perkalian, gunakan penjumlahan berulang sebagai metode atau cara, bukan
definisi. Ketika ia didudukkan sebagai metode atau cara, ingat prinsip bahwa
sering kali ada banyak cara untuk mendapatkan satu hasil yang sama.
Dengan pendekatan seperti ini, saya berharap guru pun bisa membangun
pemahaman pada siswa bahwa 4 x 6 = 6 x 4.
Sifat serupa juga ditemui dalam penjumlahan: 5 + 7 = 7 + 5. Akan
tetapi, guru juga mesti mengingatkan bahwa tidak semua operasi bisa
dibolak-balik:
4 - 2 =/ o2 - 4. ●
Sumber: OPINI Harian KOMPAS, 30 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar